Wednesday 26 July 2017

Menjemput Kebahagiaan Mereka

Ada yang menjamur di timeline facebook di tanggal 23 Juli 2017 kemarin, ada trending topik apakah? Ya, baik di beranda facebook, timeline instagram maupun broadcast di media sosial lainnya mendominasi dengan ucapan “Selamat Hari Anak Nasional”.

Lalu, dengan menuliskan hal tersebut di media sosial kita apakah hal tersebut sudah mampu memberikan sumbangsih kepada  anak-anak di setiap sudut negeri ini atau minimal anak kita sendiri dan anak-anak di sekitar tempat tinggal kita?

Adakah wujud nyata yang telah kita lakukan selain menuliskan status atau ucapan? Adakah kita memaknai sendiri tentang apa itu Hari Anak Nasional?

Saya tidak akan menjelaskan Apa itu Hari Anak Naisonal ataupun tujuan daripada penetapannya di tanggal 23 Juli. Dan tidak pula membedah hal-hal apa saja yang sekiranya dilakukan untuk memberikan sumbangsih atau wujud nyata kita untuk menyemarakkan hari tersebut.

Di sini saya mencoba berbagi sebuah pengalaman saya ketika mengikuti kegiatan bakti sosial dan buka bersama di salah satu Pondok Pesantren yang ada di Pasuruan. Pondok tersebut berbeda dengan Pondok Pesantren yang lain. Menurut saya pribadi, tempat tersebut lebih seperti Panti Asuhan. Ada lebih dari seratus anak, mulai dari usia bayi sampai menginjak remaja.  

Saya sendiri begitu terenyuh setelah bertemu langsung dengan mereka. Sebelumnya saya tak pernah sedikitpun menyangka dengan pemandangan yang saya lihat. Setahu saya, di Pondok Metal tersebut memang menampung anak-anak terlantar ataupun yang dibuang oleh orang tuanya sendiri. Sebelumnya di sana juga ada tempat rehabilitasi bagi para penyandang gangguan kejiwaan namun kini sudah tidak ada lagi.
Tak ada ruang kelas untuk mereka belajar. Jangankan seragam sekolah, peralatan tulispun juga terbatas. Tak ada taman bermain untuk mengembangkan canda. Namun tak menghilangkan kilasa senyum melewati hari dalam keterbatasan.
Dokumentasi Panitia Bakti Sosial SMAN 1 Pasuruan

Tidak ada kebahagiaan yang saya rasakan melebihi saat itu. Melihat senyum dan tingkah mereka ketika menyantap makanan, ataupun hadiah yang kami berikan membuat hati membuncah dipenuhi dengan keharuan. Masih lekang di ingatan saat ada pancaran kekecewaan di mata mungil mereka ketika membuka kotak makanan berisi ta’jil berupa roti, kue dan air mineral.


"Mbak, mbak… kok roti sih? Aku mau makan Nasi!”. “Aku mau bakso…” Sahut anak lainnya. Hatiku serentak gerimis. Apakah mereka lapar, bukankah kue ini juga terlihat lezat? Setelah menjelaskan makan malam akan dibagikan setelah sholat Maghrib mereka mulai kembali ceria, akupun mulai bisa menikmati canda mereka, namun hatiku terus saja menerawang menyelami hati dan keinginan anak-anak mungil itu. Belum lagi aku menemukan jawabannya, pandanganku tertuju kepada penampilan mereka.

Aku rasa mereka memakai pakaian terbaik yang mereka punya untuk menyambut kami. Jika sebelumnya aku hanya melihat foto-foto mereka dari panitia Bakti Sosial, maka pakaian yang mereka kenakan kini sedikit lebih layak dari sebelumnya. Rambut mereka terlihat memerah setelah bersahabat dengan sinar matahari, begitupun dengan kulit mereka yang menghitam.

Dimulai dari awal saya menjejakkan kaki di sana, dan berinteraksi dengan mereka semakin aku menjumpai beragama tanda tanya.

Siapakah yang begitu tega menelantarkan anak-anak ini? Apa dosa mereka sehingga orang tuanya tak sudi membesarkannya? 

Sebelum memulai kegiatan bersama anak-anak itu, kami diingatkan oleh ketua panitia yang meneruskan pesan dari pengelola pondok metal agar jangan sekalipun menyinggung atau menanyakan dimana orang tua mereka kepada anak-anak itu. Ya, tentu saja kami memahami itu.

Saya rasa Pihak pengelola panti sudah memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan mereka, namun tentu saja membutuhkan pembiayaan yang lebih untuk merawat semua anak-anak itu. Sedangkan terembus kabar mereka juga belum terjangkau oleh bantuan pemerintah. Tapi setiap anak sudah mendapatkan ‘jatah’ rejeki sendiri dariNya bukan?

Dengan uluran tangan dari salah satu Yayasan Pondok Pesantren lainnya, kini anak-anak itu tengah menunggu Akta Kelahiran agar mereka bisa terjangkau pihak Pemerintah. Bukan hal yang mudah untuk itu, karena masih harus menelusuri orang tua dari masing-masing anak.

Lalu, sudah adakah peran kita untuk mereka?

Bukan hanya satu, atau dua anak yang mendapati dirinya ditelantarkan dan tak diingini oleh orang tua mereka sendiri. Di luar sana masih banyak anak yatim yang tengah mengais rejeki di tengah teriknya matahari. Sendirian!

Sumber Foto:
 https://www.eramuslim.com/berita/palestina/bocah-bocah-palestina.htm
Masih banyak dari yang hanya tersaji di berita-berita televisi atau media lainnya. Masih banyak yang tersudut di tempat yang tak pernah kita jejaki. Bukan hanya di kota kita ataupun negara kita. Kisah tentang hak-hak anak yang terenggut juga tersaji lebih menyayat hati di belahan bumi lainnya. Lihatlah bagaimana anak-anak di Palestina yang beraktivitas di tengah hujan bom dan bidikan senjata, mereka yang masih bisa melangkahkan kaki setelah melihat ayah ibu mereka syahid di depan mata kepala mereka.


Lalu, apakah dengan mengetik atau mengucapkan “Selamat Hari Anak Nasional” maka kita telah turut andil menyumbangkan kebahagiaan bagi mereka?

Tulisan ini bertema Hari Anak Nasional sebagai tugas Kelas Menulis Blog Seru #2

No comments: