Sampai kapan kubiarkan hati mendendam, melenakan nafsu yang lahap menggerogoti iman?
Ada apa denganku?
Keihlasan tak sanggup lagi kucerna, tak bisa kubalutkan kembali melingkupi hati yang semakin perih.
Aku bukan lagi seorang muslimah. Seorang muslim tak kan sanggup melukai orang lain terlebih dirinya sendiri. Seperti sabda sang Habibi dalam khutbah beliau ;
“Wahai orang-orang yang lisannya menyatakan islam dan keimananya belum sampai ke hati, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan berbuat jahat kepada mereka dan jangan pula menceritakan keburukan mereka, karena sesungguhnya seseorang yang menceritakan keburukan saudaranya yang muslim maka Allah akan menceritakan keburukannya, siapa yang keburukannya diceritakan Allah maka ia sesungguhnya dipermalukan Allah, meskipun berada di dalam kamar”.
(HR. Turmudzi dan Ibnu Hibban)
Aku yang sebagian besar waktu di dalam rumah, mampu melakukan larangan itu. Masihkah pembenaran atasku akan kesalahan seseorang yang menembusi hatiku dengan samurai kata?
Aku merasa terlukai, dan luka itu nyatanya tetap basah walau dilewati masa. Aku bersikeras, mereka dan dia yang melukai. Sedangkan mereka dan dia berkata aku yang tak ikhlas menerima sebuah takdir. KehendakNya.
Mungkin benar aku tak Ikhlas, lalu benarkah mereka tak salah walau memang mereka tlah melukai?
Anggaplah aku yang tak ikhlas, hatiku yang berpenyakit.
A, ak, akku.. Aku memang berpenyakit pada hatiku. Kupandangi sebuah buku tebal bertajuk Tazkiyatun Nafs yang ditulis Sa'id Hawwa. Aku mencoba berikhtiar mengobati sakit ini.
Sudahi! Sudahi pedih ini! Cukup lidah ini menyakiti. Ketika kucoba lampiaskan dendam dan benci, melukai mereka yang melukaiku luka itu akan berkali lipat menerjam raga serta hatiku. Aku semakin perih, bukannya puas melampiaskan emosi.
Sudahi! Sudahi! Aku tak mampu lagi, hatiku terkoyak penuh darah bercampur nanah.
Pemilik hati, sang Maha Pembolak-balik hati... Kembalikanlah hati ini seperti Engkau menyepuh tanah menjadikannya kami. Manusia.
Qalbi Laka Wa Bas ya Rabb...
Samita,Ada apa denganku?
Keihlasan tak sanggup lagi kucerna, tak bisa kubalutkan kembali melingkupi hati yang semakin perih.
Aku bukan lagi seorang muslimah. Seorang muslim tak kan sanggup melukai orang lain terlebih dirinya sendiri. Seperti sabda sang Habibi dalam khutbah beliau ;
“Wahai orang-orang yang lisannya menyatakan islam dan keimananya belum sampai ke hati, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan berbuat jahat kepada mereka dan jangan pula menceritakan keburukan mereka, karena sesungguhnya seseorang yang menceritakan keburukan saudaranya yang muslim maka Allah akan menceritakan keburukannya, siapa yang keburukannya diceritakan Allah maka ia sesungguhnya dipermalukan Allah, meskipun berada di dalam kamar”.
(HR. Turmudzi dan Ibnu Hibban)
Aku yang sebagian besar waktu di dalam rumah, mampu melakukan larangan itu. Masihkah pembenaran atasku akan kesalahan seseorang yang menembusi hatiku dengan samurai kata?
Aku merasa terlukai, dan luka itu nyatanya tetap basah walau dilewati masa. Aku bersikeras, mereka dan dia yang melukai. Sedangkan mereka dan dia berkata aku yang tak ikhlas menerima sebuah takdir. KehendakNya.
Mungkin benar aku tak Ikhlas, lalu benarkah mereka tak salah walau memang mereka tlah melukai?
Anggaplah aku yang tak ikhlas, hatiku yang berpenyakit.
A, ak, akku.. Aku memang berpenyakit pada hatiku. Kupandangi sebuah buku tebal bertajuk Tazkiyatun Nafs yang ditulis Sa'id Hawwa. Aku mencoba berikhtiar mengobati sakit ini.
Sudahi! Sudahi pedih ini! Cukup lidah ini menyakiti. Ketika kucoba lampiaskan dendam dan benci, melukai mereka yang melukaiku luka itu akan berkali lipat menerjam raga serta hatiku. Aku semakin perih, bukannya puas melampiaskan emosi.
Sudahi! Sudahi! Aku tak mampu lagi, hatiku terkoyak penuh darah bercampur nanah.
Pemilik hati, sang Maha Pembolak-balik hati... Kembalikanlah hati ini seperti Engkau menyepuh tanah menjadikannya kami. Manusia.
Qalbi Laka Wa Bas ya Rabb...
Pasuruan, 14 Mei 2016
No comments:
Post a Comment