Ly, apapun masalah yang kamu hadapi saat ini seberat dan serumit apapun itu aku sangat menyakini bahwa kamu pasti bisa melewatinya bersamaku.
***
Lyra berulangkali membandingkan dirinya denganku. Aku tak sesempurna seperti di dalam benakmu Ly. Masa laluku penuh tinta kelam, aku pernah melewati lorong gelap itu sendiri Ly. Disaat kamu semakin berjalan berlawanan arah denganku, mengacuhkanku dan memberi label pembunuh padaku. Aku sendirian Ly. Ayah dan Bunda tiada, adik kecil kita kembali ke surgaNya.
Setiap dari kita, sebagai manusia tak selalu berjalan dalam putihnya kanvas kehidupan. Ada bermacam warna tinta yang siap mewarnainya. Entah itu warna keceriaan atau kegelapan yang mencekam. Haruskah aku kembali ke masa itu untuk memberitahumu hidupku tak sesempurna dalam benakmu Ly. Tentu, dengan senang hati karena sekarang engkau berkenan membuka kembali hatimu sebagai pendengarku. Seperti dulu.
Lyra, mungkin kamu tak sepenuhnya mengingat saat itu. Saat itu kamu bahkan tak sudi menemuiku ketika aku pulang ke rumah kita. Ingatkah saat itu kamu memilih membuka warnet peninggalan Ayah sampai pagi hari karena enggan menemuiku? Saat itu di lantai dua ruko kita masih belum kau sulap menjadi hunian mungilmu seperti saat ini.
Kau sungguh kreatif Ly, satu ruangan ini kau sekat menjadi beberapa ruangan walau tak besar tapi kau menjadikannya lapang dan nyaman ditinggali. Lihatlah, tirai yang ditarikan angin yang membelai permukaan tempat tidurmu. Bagaimana aku lukiskan dengan kata.
"Kau lebih cocok menjadi designer daripada seorang penulis Ly" gurauku.
Senyum sabitmu terlihat walau sekilas, namun itulah langkah awal untuk pemecahan masalahmu Ly. Kembali lagi pada kisahku, ini tentang tahun keduaku di perantauan Ly. Di akhir semester sebelum pelaksanaan skripsiku dimulai.
Aku bertemu dengan dia di acara bazar buku yang diadakan di acara Dies Natalis kampusku. Tanpa sengaja mata kami tertuju pada sebuah buku yang sama, buku tentang fikih wanita yang aku cari selama setahun. Dunia membeku saat kulit tangan kami bertemu di cover buku berwarna pink itu. Hanya di detik kedua tangan kami masing-masing menjauh.
"Maaf" kataku tanpa menatap wajah si pemilik tangan.
"Ana yang salah ukhti. Afwan." kata laki-laki itu. "Kamu mau membeli buku ini?" sambungnya.
"I, Iya" jawabku gugup. Baru pertama kali ini aku dengar suara laki-laki yang terdengar lembut sekaligus bersahaja. Jantungku berdetak lembut tanpa kuminta.
"Bagaimana ya ini?" kata lelaki berkoko putih itu, ada nada kegusaran disana. Ada yang bergejolak, entah apa itu.
"Kenapa?" tanyaku.
"Buku ini Limited Edition, dan aku sangat membutuhkannya untuk Thesisku. Namun, ukhti terlihat begitu menginginkannya juga. Benar kan?" tanyanya.
Dalam hati aku mengiyakannya, aku telah lama mencari buku itu.
"Silahkan anda ambil saja, sepertinya anda sangat membutuhkannya. Mudah-mudahan saya bisa menemukannya ditempat lain." jelasku.
Singkat cerita, takdir sepertinya menggariskan kami selalu bertemu. Sejak bertemu dengannya hembusan hidayah itu bertiup kencang namun membelai.
Dia mengenalkanku dalam dunia dakwah, jilbabkupun semakin lebar begitupula dengan pakaian-pakaian yang aku kenakan. Namun kasak-kusuk itu merisaukanku. Beberapa mahasiswi yang mengikuti kajian mengatakan laki-laki itu akan melamar salah satu mahasiswi yang juga aktif dalam kajian.
Hatiku dilanda sebuah badai, hingga sore Ustadzah dan Ustad yang aktif mengisi kajian datang dan membawa kabar itu. Laki-laki itu melamarku Ly. Kau tidak tahu betapa senangnya aku saat itu, badai di hatiku mendadak menjadi guratan pelangi yang sangat indah.
Aku dulu pulang ke rumah untuk mengabarkan hal itu padamu dan ibu tiri kita. Tapi kau tak acuh, bahkan bertemupun kmu enggan. Ku siapkan sendiri prosesi lamaran dan pernikahan seorang diri karena kau tahu kan bagaimana sikap ibu tiri kita setelah ayah tiada?
Semua pelangi di hatiku ternyata hanya sejenak. Laki-laki itu mendadak lenyap dari lingkungan kampus. Beberapa teman di kajian juga tak tahu kemana kepergian dari laki-laki itu begitupun dengan Ustad yang dulu mewakili laki-laki itu untuk melamarku. Aku tak punya muka lagi menghadiri kajian rutin. Skripsiku tertunda karena aku terlalu enggan ke kampus.
Kampus terasa berbeda, sorotan mata teman-teman terasa lain. Entah itu adalah suatu kebenaran atau karena imajinasiku sendiri. Mungkin aku yang rapuh, kajian itu hanya alibiku untuk dekat dan mendapat perhatian laki-laki itu. Imanku hanyalah manipulatif, aku ternyata perempuan yang tak layar mengenakan pakaian dan jilbab lebar itu.
Semester selanjutnya aku kembali mengenakan pakaian yang aku kenakan sebelum bertemu laki-laki itu. Sebenarnya aku hendak melepaskan jilbab yang kukenakan dan kubiarkan rambutku tergerai jika saja aku tak mengingat almarhumah ibu. Apakah luka di hatiku sembuh Ly? Tidak! Tentu saja luka itu makin membusuk di hatiku. Akupun ingin segera menyelesaikan skripsiku dan pergi meninggalkan kampus itu.
Aku tak sesuci apa yang kamu pikirkan. Aku mempunyai hati pendendam Ly, aku dendam dengan laki-laki itu. Sekuat hati aku menahan dan melupakan rasa salit itu. Aku banting kemudi nahkodaku, aku berteman dengan lautan buku di perpustakaan serta manik-manik yang kurangkai menjadi bros. Itu semua pengalihanku dari rasa sakit yang mengendap di dasar hatiku.
Ly, ada satu asaku yang tak menemukan jawaban. Satu asaku yang terhempas, karena kepergian tanpa salam dari seorang laki-laki. Kenapa di usiaku sekarang tak satupun lamaran yang aku terima dari beberapa laki-laki yang datang? Karena aku butuh satu jawab atas satu asa.
Ly, aku masih berjuang mengIkhlaskan satu asaku dan melahirkan asa yang baru. Namun, ikhlas tak semudah teori yang aku baca. Rasa sakit itu masih menghantui.
Ly, jabatlah tanganku. Rengkuh pundakku. Maukah kau sandarkan tangismu padaku? Kita saling menguatkan, saling membahu dalam menghapus mendung itu.
***
***
Lyra berulangkali membandingkan dirinya denganku. Aku tak sesempurna seperti di dalam benakmu Ly. Masa laluku penuh tinta kelam, aku pernah melewati lorong gelap itu sendiri Ly. Disaat kamu semakin berjalan berlawanan arah denganku, mengacuhkanku dan memberi label pembunuh padaku. Aku sendirian Ly. Ayah dan Bunda tiada, adik kecil kita kembali ke surgaNya.
Setiap dari kita, sebagai manusia tak selalu berjalan dalam putihnya kanvas kehidupan. Ada bermacam warna tinta yang siap mewarnainya. Entah itu warna keceriaan atau kegelapan yang mencekam. Haruskah aku kembali ke masa itu untuk memberitahumu hidupku tak sesempurna dalam benakmu Ly. Tentu, dengan senang hati karena sekarang engkau berkenan membuka kembali hatimu sebagai pendengarku. Seperti dulu.
Lyra, mungkin kamu tak sepenuhnya mengingat saat itu. Saat itu kamu bahkan tak sudi menemuiku ketika aku pulang ke rumah kita. Ingatkah saat itu kamu memilih membuka warnet peninggalan Ayah sampai pagi hari karena enggan menemuiku? Saat itu di lantai dua ruko kita masih belum kau sulap menjadi hunian mungilmu seperti saat ini.
Kau sungguh kreatif Ly, satu ruangan ini kau sekat menjadi beberapa ruangan walau tak besar tapi kau menjadikannya lapang dan nyaman ditinggali. Lihatlah, tirai yang ditarikan angin yang membelai permukaan tempat tidurmu. Bagaimana aku lukiskan dengan kata.
"Kau lebih cocok menjadi designer daripada seorang penulis Ly" gurauku.
Senyum sabitmu terlihat walau sekilas, namun itulah langkah awal untuk pemecahan masalahmu Ly. Kembali lagi pada kisahku, ini tentang tahun keduaku di perantauan Ly. Di akhir semester sebelum pelaksanaan skripsiku dimulai.
Aku bertemu dengan dia di acara bazar buku yang diadakan di acara Dies Natalis kampusku. Tanpa sengaja mata kami tertuju pada sebuah buku yang sama, buku tentang fikih wanita yang aku cari selama setahun. Dunia membeku saat kulit tangan kami bertemu di cover buku berwarna pink itu. Hanya di detik kedua tangan kami masing-masing menjauh.
"Maaf" kataku tanpa menatap wajah si pemilik tangan.
"Ana yang salah ukhti. Afwan." kata laki-laki itu. "Kamu mau membeli buku ini?" sambungnya.
"I, Iya" jawabku gugup. Baru pertama kali ini aku dengar suara laki-laki yang terdengar lembut sekaligus bersahaja. Jantungku berdetak lembut tanpa kuminta.
"Bagaimana ya ini?" kata lelaki berkoko putih itu, ada nada kegusaran disana. Ada yang bergejolak, entah apa itu.
"Kenapa?" tanyaku.
"Buku ini Limited Edition, dan aku sangat membutuhkannya untuk Thesisku. Namun, ukhti terlihat begitu menginginkannya juga. Benar kan?" tanyanya.
Dalam hati aku mengiyakannya, aku telah lama mencari buku itu.
"Silahkan anda ambil saja, sepertinya anda sangat membutuhkannya. Mudah-mudahan saya bisa menemukannya ditempat lain." jelasku.
Singkat cerita, takdir sepertinya menggariskan kami selalu bertemu. Sejak bertemu dengannya hembusan hidayah itu bertiup kencang namun membelai.
Dia mengenalkanku dalam dunia dakwah, jilbabkupun semakin lebar begitupula dengan pakaian-pakaian yang aku kenakan. Namun kasak-kusuk itu merisaukanku. Beberapa mahasiswi yang mengikuti kajian mengatakan laki-laki itu akan melamar salah satu mahasiswi yang juga aktif dalam kajian.
Hatiku dilanda sebuah badai, hingga sore Ustadzah dan Ustad yang aktif mengisi kajian datang dan membawa kabar itu. Laki-laki itu melamarku Ly. Kau tidak tahu betapa senangnya aku saat itu, badai di hatiku mendadak menjadi guratan pelangi yang sangat indah.
Aku dulu pulang ke rumah untuk mengabarkan hal itu padamu dan ibu tiri kita. Tapi kau tak acuh, bahkan bertemupun kmu enggan. Ku siapkan sendiri prosesi lamaran dan pernikahan seorang diri karena kau tahu kan bagaimana sikap ibu tiri kita setelah ayah tiada?
Semua pelangi di hatiku ternyata hanya sejenak. Laki-laki itu mendadak lenyap dari lingkungan kampus. Beberapa teman di kajian juga tak tahu kemana kepergian dari laki-laki itu begitupun dengan Ustad yang dulu mewakili laki-laki itu untuk melamarku. Aku tak punya muka lagi menghadiri kajian rutin. Skripsiku tertunda karena aku terlalu enggan ke kampus.
Kampus terasa berbeda, sorotan mata teman-teman terasa lain. Entah itu adalah suatu kebenaran atau karena imajinasiku sendiri. Mungkin aku yang rapuh, kajian itu hanya alibiku untuk dekat dan mendapat perhatian laki-laki itu. Imanku hanyalah manipulatif, aku ternyata perempuan yang tak layar mengenakan pakaian dan jilbab lebar itu.
Semester selanjutnya aku kembali mengenakan pakaian yang aku kenakan sebelum bertemu laki-laki itu. Sebenarnya aku hendak melepaskan jilbab yang kukenakan dan kubiarkan rambutku tergerai jika saja aku tak mengingat almarhumah ibu. Apakah luka di hatiku sembuh Ly? Tidak! Tentu saja luka itu makin membusuk di hatiku. Akupun ingin segera menyelesaikan skripsiku dan pergi meninggalkan kampus itu.
Aku tak sesuci apa yang kamu pikirkan. Aku mempunyai hati pendendam Ly, aku dendam dengan laki-laki itu. Sekuat hati aku menahan dan melupakan rasa salit itu. Aku banting kemudi nahkodaku, aku berteman dengan lautan buku di perpustakaan serta manik-manik yang kurangkai menjadi bros. Itu semua pengalihanku dari rasa sakit yang mengendap di dasar hatiku.
Ly, ada satu asaku yang tak menemukan jawaban. Satu asaku yang terhempas, karena kepergian tanpa salam dari seorang laki-laki. Kenapa di usiaku sekarang tak satupun lamaran yang aku terima dari beberapa laki-laki yang datang? Karena aku butuh satu jawab atas satu asa.
Ly, aku masih berjuang mengIkhlaskan satu asaku dan melahirkan asa yang baru. Namun, ikhlas tak semudah teori yang aku baca. Rasa sakit itu masih menghantui.
Ly, jabatlah tanganku. Rengkuh pundakku. Maukah kau sandarkan tangismu padaku? Kita saling menguatkan, saling membahu dalam menghapus mendung itu.
***
No comments:
Post a Comment