Nuansa putih kini mendominasi ruangan persegi yang
sebelumnya hanya terdapat empat kursi rotan dan sebuah meja kecil yang menjadi
rujukan ketika ada tamu yang datang. Semua perabotan yang menghiasinya telah
dipindahkan ke empat lain, tempat itu kini berubah sakral dengan aksen putih
dan sebuah meja kecil di tengah ruangan.
Jemari angin menyusuri celah-celah jendela dan
ventilasi, mencoba menyapa dengan sentuhan dingin di musin penghujan yang baru
melangkah di bulan pertama.
"kamu terlihat sangat cantik adikku" tangan
lentik Anggun dengan terampil membalut mahkota adiknya dengan helaian kain Jilbab
di depan sebuah kaca rias.
Sang adik hanya tersenyum melihat pantulan sosok kakak
perempuannya dari kaca di hadapannya. "kakak dulu juga sangat cantik ketika
memakai baju pengantin" ujar Anggi tanpa memperhatikan wajah sang kakak
yang mulai mendung di belakangnya.
"ehmm.. Kakak lupa nggi" jawab Anggun
"maaf kak, sudah jangan diingat lagi! Maaf kak!
Sekali lagi maaf, bukan maksud Anggi mengingat masa itu"
Anggun hanya terdiam di belakang tubuh Anggi yang saat
itu terlihat sangat Anggun dalam balutan busana pengantin. Anggi adalah saudara
kembar Anggun, hanya selisih 10 menit usia mereka. Anggun menatap haru pada
sosok adiknya yang terlihat sangat cantik dengan gaun berwarna putih itu,
terpancar jelas pantulan dirinya lewat sosok adik kembarnya itu. Ingatan Anggun
kembali terselami jiwa Anggun yang sempat hilang 1 tahun sebelumnya.
"saya terima nikah dan kawinnya Anggun Permata
Anggraini dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan di bayar tunai"
Seketika Anggun melakukan sujud syukur di ruangan
sebelah altar pernikahan di ruang tamu Anggun. "Selamat ya kak, sekarang
kakak sudah sah menjadi seorang istri. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah
Mawaddah wa Rahmah." Anggi menjadi orang pertama yang memberikan ucapan
serta pelukan bagi Anggun.
Namun, kebahagiaan Anggun terhempas jauh ke dasar jurang
terdalam di pedalaman kalimantan bersama pesawat yang ditumpangi suaminya.
Anggun tak lagi mampu tersenyum melihat perutnya yang tengah mengandung anak
pertamanya.
Isakan suara bayi membuyarkan lamunan Anggun. Di
pandanginya seorang bayi mungil yang tengah menangis di ranjang. Anggunpun
kembali melihat tatapan suaminya dalam kedua bola mata anaknya yang belum genap
satu tahun itu.
"kak, kenapa kakak diam? Dede Galih minta minum ASI
tuh!" suara Anggi kembali membawa jiwa Anggun ke dunia nyata.
"astaghfirullah, maafkan Bunda nak! Sini minum ASI
dulu" Anggun kemudian menggendong Galih dalam pelukannya. Di sampingnya,
Anggi masih menatap haru kepada pantulan dirinya itu. "kak, cepatlah
pulang! Aku tahu, walau raga kakak ada disini tapi Jiwa kakak masih dimasa itu."
Anggi bergumam sendiri dalam diamnya.
Semenjak kepergian suaminya, Anggun seperti kehilangan
setengah jiwanya. Setiap hari Anggun menunggu suaminya pulang di teras rumah,
disiapkannya teh dan makanan ringan di meja makan. Anggun belum bisa sepenuhnya
Ikhlas menerima bahwa suaminya telah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dengan
perut yang semakin membesar, Anggun sesekali berbisik dalam janin di rahimnya
"ayah akan segera pulang nak, kamu yang sabar ya".
Tak hanya Anggi yang sangat sedih dan prihatin tentang
keadaan psikis Anggun. Orang tua dan mertua Anggun tak tinggal diam, mereka
kerap kali membawa Anggun ke Psikiater, ustad dan beberapa Alternatif kejiwaan.
Namun, Anggun bersikukuh dengan hatinya. Anggun yakin, suaminya tidak
meninggal. Anggun tetap percaya, selama dia tidak melihat jasad suaminya dengan
mata kepala sendiri.
Pihak polisi dan tim SAR memang sampai sekarang belum
menemukan beberapa jasad dari korban kecelakaan pesawat yang ditumpangi suami
Anggun. Pihak tim SAR mengatakan medan yang dilalui untuk menuju lokasi
jatuhnya pesawat sangat curam dan terpencil hingga di hari kesepuluh tak
satupun korban yang berhasil di evakuasi. Dengan berat hati, tim SAR dan suka
relawan berhenti melakukan pencarian karena lokasi yang sangat sulit di
jangkau.
Kelahiran Galih menjadi obat bagi kerinduan Anggun akan
sosok suaminya. Semua keluarga berbinar tatkala melihat wajah Galih sangat
mirip dengan ayahnya. Perhatian Anggun mulai tersita dengan kehadiran Galih di
hidupnya, perlahan diapun melupakan kematian suaminya walaupun masih tersemat
keyakinan suatu saat suaminya akan pulang.
Anggun tak berkedip melihat Galih dengan riangnya
meminum ASI Sesekali melihat dan tersenyum ke arah bundanya. "kamu sangat
mirip ayahmu nak!" seolah tahu bahasa bundanya, Galih kembali tersenyum
sehingga memantulkan senyum itu di wajah bundanya yang turut tersenyum melihat
kegembiraan anaknya.
Anggi masih terdiam di depan meja riasnya. "kamu
cantik jika tersenyum kak! Sudah lama aku tak melihat senyummu itu. Jadilah
cermin bagi bundamu Galih, pantulkan riang wajahmu pada wajah bundamu. Jadilah
cerminan wajah ayahmu ketika ibumu merindukan ayahmu. Jadilah cermin kerinduan
nak, agar bundamu menemukan air kelegaan bagi kerinduannya akan ayahmu"
Anggi hanya mampu berdoa dalam hati sambil menghapus butiran airmata yang jatuh
di pipinya.
No comments:
Post a Comment