Cuaca di luar
rumah sangat dingin karena sepanjang malam hujan tak mau berhenti membasahi
kota Surabaya. Dimas tampak enggan turun dari tempat tidur, subuh tadi Dimas
juga tidak menjalankan sholat subuh. Dia sepertinya terlena dengan suasana
hujan yang memang sangat mendukung untuk bermalas-malasan.
"Dimas
ayo bangun, hari ini kan sudah masuk sekolah lagi. Ayo lekas bangun dan mandi!"
kata bunda sambil melepaskan selimut yang membungkus Dimas.
Dimas
bergerak-gerak sebentar kemudian terlelap lagi. Bunda yang kesal kemudian
mengambil air di gelas air minum yang ada di meja kecil di samping tempat tidur
Dimas.Tes tes tes. Bunda meneteskan sedikit demi sedikit air di dalam gelas ke
wajah Dimas. Dimas terlonjak kaget.
"Bocor!
Bocor! Atapnya bocor!" teriak Dimas. Bunda terpingkal-pingkal melihat
tingkah Dimas.
"Hahaha,
kamu ini Dimas. Dibangunin daritadi tidak bangun, eh ditetesi air baru bangun"
kata bunda sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa.
"Ahh...
Bunda... Dimas kan jadi basah!" gerutu Dimas sambil mengusap air di
wajahnya dengan selimut.
"Ayo
cepat mandi, kalau tidak air satu gelas ini yang Bunda siram ke wajahmu
ya!?" kata bunda sambil berkacak pinggang.
"Ba,
baik bunda." jawab Dimas sambil turun dari tempat tidur dan berlari menuju
ke kamar mandi. Bunda kemudian kembali menuju ke dapur untuk melanjutkan membuat
sarapan.
Seusai mandi
dan berpakaian Dimas kemudian sarapan bersama Ayah dan bunda. Dimas adalah anak
tunggal, orang tuanya keduanya sama-sama bekerja. Ayah Dimas kerja di Bank
sedangkan bundanya mengajar di SMP. Dimas hidup berkecukupan bahkan dibilang
kaya, hampir semua keinginannya selalu dipenuhi.
"Ayah,
Dimas belikan sepatu baru lagi dong!" bujuk Dimas kepada Ayah. Ayah yang
susah selesai makan dan sedang membaca koran kemudian menoleh kepada Dimas.
"Sepatu
kamu kan masih bagus Dim, itu juga baru dua bulan kemarin kan belinya?"
tanya Ayah.
"Iya sih
yah, tapi kan sekarang Dimas sudah naik ke kelas lima. Wajar kan semua serba
baru?" jawab Dimas.
"Baiklah,
nanti Ayah pikirkan" kata Ayah sambil melirik bunda.
"Kok
masih dipikirkan sih yah, kan tinggal beli!?" bujuk Dimas lagi.
"Ya
sudah, selesaikan dulu makannya nanti ojek jemputannya keburu datang."
bujuk Bunda. Mau tidak mau Dimas menurut, Dimas sebenarnya adalah anak yang
baik. Namun karena keinginan yang selalu dituruti dia menjadi anak yang manja.
Hari pertama
di kelas lima Dimas menempati ruang kelas yang baru dan teman baru. Namun
kebanyakan Dimas mengenali semuanya karena beberapa ada yang menjadi teman
sekelasnya di kelas-kelas sebelumnya. Dimas duduk di bangku nomor dua
bersebelahan dengan teman lamanya Rino. Semua bangku mulai terisi kecuali
bangku di depan Dimas. Setelah bel berbunyi bangku itu masih kosong.
"Assalamu'alaikum
anak-anak" sapa Ustad Ridwan.
"Wa'alaikumsalam"
jawab anak-anak serempak.
"Selamat
datang di semester pertama Kelas V Mulia. Saya Ustad Ridwan adalah wali kelas
kalian selama satu tahun ke depan" jelas Ustad Ridwan yang berdiri di
depan kelas.
"Baik,
sekarang ustad absen dulu ya?" lanjut ustad Ridwan.
Ustad
berjalan ke arah meja guru untuk mengambil absen, sebelum sampai di meja
tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu dan disusul dengan sebuah salam.
"Assalamu'alaikum,
maaf saya terlambat ustad" sapa seorang anak laki-laki.
Anak
laki-laki berkulit sawo matang itu masuk ke dalam kelas sambil menyeret sebelah
kakinya. Dimas memperhatikan langkah anak itu yang kini tengah berjalan ke arah
bangku di depannya.
"Siapa
anak itu, kamu mengenalnya?" bisik Dimas pada Rino.
"Aku
pernah melihatnya sih, tapi aku tidak pernah sekelas dan aku juga tidak tahu
namanya" jawab Rino setengah berbisik.
"Apa dia
sakit ya, kakinya kok diseret gitu" tanya Dimas penasaran.
"Stt,
jangan berisik ah nanti dia dengar lho!" kata Rino. Dimas kemudian
memendam rasa ingin tahunya.
Dimas
kemudian tahu bahwa anak lelaki yang duduk di depannya itu bernama Adit setelah
ustad Ridwan mengabsen semua murid. Dimas berencana mengajak berkenalan dengan
Adit setelah bel istirahat berbunyi.
***
Dimas
tergesa-gesa memasukkan peralatan tulisnya yang tercecer di lantai gara-gara
keusilan Roni yang dengan sengaja menumpahkan isi pensilnya ke lantai. Setelah
Dimas selesai merapikan peralatan tulisnya dia tersadar bahwa Adit sudah tidak
berada di kelas, Dimas kemudian berlari keluar kelas berharap bisa menyusul
Adit.
"Mungkin
Adit pergi ke kantin" batin Dimas. Namun ketika melewati Musholla Dimas
melihat Adit tengah melepas sepatunya dan pergi ke tempat berwudhu.
"Lho,
kok aneh? Kenapa sekarang Adit tidak menyeret kaki kanannya ketika
berjalan?" gumam Dimas.
Dimas
kemudian duduk di teras musholla, tepat di tempat Adit meletakkan sepatunya.
Beberapa menit kemudian Dimat melihat Adit masuk ke dalam Musholla. Dimas yang
penasaran hanya menunggu Adit keluar dari Musholla dan kemudian menanyakan
keadaan kakinya.
Berselang
sepuluh menit Adit selesai melakukan sholat Dhuha, namun dia tak segera keluar
musholla melainkan mengambil sebuah Mushaf dan mulai membacanya. Dimas yang
sedari tadi mengamati Adit hanya termangu setelah mendengar betapa merdunya
suara Adit ketika mengaji. Tiba-tiba Dimas merasakan sesuatu yang aneh dalam
dirinya.
"Aku
bisa sih membaca al qur'an tapi kenapa tidak bisa seindah itu caraku
membacanya?" gumam Dimas. Saking asyiknya melamun Dimas tidak sadar Adit
kini berada di sampingnya dan tengah memakai kembali sepatunya.
"Dimas,
aku duluan ke kelas ya?" sapa Adit.
Dimas yang
asyik melamun tiba-tiba tersadar kemudian melangkah menyusul Adit yang kembali
berjalan dengan menyeret kaki kanannya menuju ke kelas.
"Adit,
tunggu!" teriak Dimas. Adit yang dipanggil kemudian menghentikan
langkahnya.
"Ada apa
Dimas?" tanya Adit.
"Ak, aku
boleh ngobrol?" jawab Dimas sambil mengatur nafasnya.
"Boleh,
tapi bel masuk sudah berbunyi nih" kata Adit.
"Kalau
begitu sepulang sekolah ya?" tanya Dimas antusias.
"InsyaAllah"
jawab Adit. Mereka berduapun akhirnya masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran
selanjutnya.
***
"Baiklah,
Ustad akhiri sampai disini pelajaran hari ini. Mari kita akhiri dengan
doa" kata Ustad Ridwan.
Setelah
selesai membaca doa, Ustad Ridwan mengucapkan salam kemudian keluar dari ruang
kelas diikuti murid-murid yang lain. Namun Dimas masih mencatat materi yang ada
di papan. Dia terlambat menulis semua materi karena Rino dari tadi mengganggu
konsentrasinya menulis.
"Dimas,
aku pulang duluan ya?" sapa Adit. Adit kemudian berjalan menuju ke luar
kelas.
"Eh,
tunggu aku...!!" balas Dimas. Namun Adit tak mendengar suara Dimas dan
terus saja berjalan keluar kelas.
Dimas tak
menyalahkan Adit yang tidak mendengar suaranya, di dalam kelas teman-temannya
sangat berisik begitu juga teman-teman lainnya yang berhamburan di luar kelas.
Dimas kemudian mempercepat tangannya menulis materi yang ada di papan.
***
"Eh,
pak! Pak! Berhenti sebentar pak!" seru Dimas kepada supir ojek
langganannya.
"Ada apa
nak Dimas?" tanya bang Ucok.
"Sepertinya
itu teman Dimas bang, saya turun disini saja ya bang?" kata Dimas sambil
turun dari motor.
"Lho,
nanti Bunda nyariin Dimas. Bang ucok nanti yang disalahkan orang tua nak Dimas"
cegah bang Ucok panik.
"Tidak
apa-apa bang! Nanti Dimas yang jelasin ke bunda." tegas Dimas sambil
berlari menyusul Adit yang berjalan menuju ke bawah sebuah jembatan. Bang Ucok
tidak bisa mencegah Dimas.
Dimas tak
mengerti kenapa Adit tidak langsung pulang malah ke tempat yang kumuh dan bau
itu. Dimas yang penasaran hanya bisa menahan rasa ingin tahunya dan hanya
mengamati Adit dari jauh.
Sesampainya
di gundukan sampah yang menjulang, Adit yang telah mengganti pakaian seragam
dan melepas sepatunya kemudian mengambil sebuah kantung dan tongkat yang
ujungnya runcing. Adit dengan lincahnya mengorek-ngorek sampah dan memunguti
beberapa botol plastik. Dimas yang penasaran kemudian berjalan menuju Adit.
"Kamu
sedang apa Adit?" tanya Dimas. Adit yang disapa mematung setelah tahu
siapa yang kini berada di dekatnya.
***
Adzan Maghrib
baru saja selesai, Dimas kemudian mengambil air wudhu dan segera melaksanakan
Sholat Maghrib. Ayah dan Bunda hanya saling memandang heran, tak biasanya anak
mereka langsung sholat tanpa disuruh terlebih dahulu.
"Tumben
ya Dimas yah!?" kata Bunda.
"Iya
bun, tapi disyukuri saja mungkin Dimas sudah berubah menjadi lebih baik"
tegur Ayah.
"Iya,
Alhamdulillah. Berarti hadiah kenaikan kelas yang Bunda beli tadi tidak sia-sia
kan yah? Dimas pasti senang sekali." kata bunda.
Setelah
sholat Maghrib, Ayah dan Bunda pergi ke kamar Dimas sambil menenteng sebuah
kotak yang telah dibungkua kertas kado.
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum
Dimas. Ayah dan Bunda boleh masuk nak?" sapa Bunda.
"Wa'alaikumsalam.
Iya bun, masuk saja pintu tidak di kunci." jawab Dimas.
Ayah dan
Bunda kemudian masuk ke kamar Dimas dan kemudian menyerahkan bungkusan kado
kepada Dimas.
"Ini
hadiah dari Ayah dan Bunda untuk Dimas yang sudah naik ke kelas lima" kata
Bunda sambil tersenyum.
"Apa ini
bunda?" tanya Dimas.
"Buka
saja nak!" jawab bunda sambil tersenyum kepada Ayah.
Dimas
kemudian membuka bungkusan kado itu. Namun Dimas bukannya terlihat senang malah
menunduk dan mulai menangis. Ayah dan Bunda kebingungan.
"Lho.
Kamu kok malah sedih dan menangis?" tanya bunda sambil mengelus kepala
Dimas.
Dimas
kemudian menceritakan kejadian hari itu. Mulai dari Adit yang menyeret kaki
kanannya ketika berjalan hingga ketika Adit memunguti botol plastik bekas di
Penampungan Sampah.
Dimas
menceritakan kenapa Adit menyeret kakinya ketika berjalan. Adit malu karena
sepatunya berlubang di bagian bawah. Dan jika Adit berjalan seperti biasa dia
takut teman-temannya melihat lubang itu dan mengejeknya. Adit tidak ingin
meminta sepatu baru kepada orang tuanya karena Ayah Adit hanya seorang tukang
becak yang penghasilannya sedikit. Sedangkan ibunya Adit hanya seorang guru
ngaji yang gajinya tidak seberapa. Jadi Adit tiap pulang sekolah bekerja
mengumpulkan sampah untuk menabung dan membeli sepatu baru.
Dimas
mengakhiri ceritanya sambil menangis, bunda jadi tidak tega dan akhirnya
menangis juga.
"Lalu
apa yang kamu tangiskan? Apa karena kamu kasihan sama teman kamu itu?"
tanya Ayah.
"Iya ayah.
Dimas jadi berfikir selama ini Dimas Salah. Semua keinginan Dimas terpenuhi,
namun disaat yang sama teman Dimas kekurangan. Sepatu Dimas masih bagus dan
bisa digunakan, tapi Dimas minta dibelikan yang baru. Sedangkan Adit bekerja
dulu untuk membeli sepatu baru dan tidak ingin menyusahkan orang tuanya."
jelas Dimas sambil mengusap airmatanya.
Malam harinya
setelah sholat Isya, Dimas dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Adit.
Ternyata rumah Adit tak jauh dari tempat penampungan sampah di bawah jembatan
yang sering mereka lewati.
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum"
sapa Dimas.
Tak lama
kemudian terdengar jawaban dari balik pintu, beberapa detik kemudian Adit
membukakan pintu. Adit terkejut melihat Dimas dan orang tuanya berkunjung ke
rumahnya yang sederhana. Setelah dipersilahkan masuk, Dimas dan kedua orang
tuanya duduk di sebuah kursi kayu sedangkan Adit pergi ke dalam memanggil orang
tuanya.
Setelah orang
tua Adit keluar bersama Adit, Ayah Dimas mengutarakan niat baik Dimas yang
ingin menyerahkan hadiah kenaikan kelasnya kepada Adit. Adit kemudian menerima
bungkusan itu dan membukanya. Mata Adit berkaca-kaca, tak disangkanya bahwa isi
dari bungkusan itu adalah sebuah sepatu baru yang sangat bagus. Karena usia dan
bentuk tubuh serta tinggi Adit dan Dimas hampir sama, kemungkinan ukuran sepatu
mereka juga sama.
Adit dengan
senangnya kemudian memakai sepatu itu dan Alhamdulillah sepatunya pas. Semuanya
terlihat senang dan bersyukur. Namun tiba-tiba Dimas mengajukan syarat. Semua
mata tertuju ke arah Adit.
"Sepatu
itu akan jadi milikmu, tapi ada syaratnya!" kata Dimas.
"Syarat?"
tanya Adit dengan lesu.
"Iya!
Syaratnya kamu harus mengajari aku membaca Alqur'an sampai baik dan merdu
seperti saat kamu mengaji di mushola tadi. Bagaimana?" tanya Dimas.
"Baiklah!"
jawab Adit Mantab.
Keesokan
harinya Adit berangkat ke sekolah memakai sepatu pemberian Dimas dengan
langkah yang tegas dan tidak menyeret kembali kaki kanannya. Tiap sore Dimas
datang ke rumah Adit untuk belajar mengaji. Sejak saat itu Adit dan Dimas menjadi
sahabat karib.
No comments:
Post a Comment