Sunday 20 March 2016

Sepatu Adit




Cuaca di luar rumah sangat dingin karena sepanjang malam hujan tak mau berhenti membasahi kota Surabaya. Dimas tampak enggan turun dari tempat tidur, subuh tadi Dimas juga tidak menjalankan sholat subuh. Dia sepertinya terlena dengan suasana hujan yang memang sangat mendukung untuk bermalas-malasan.
"Dimas ayo bangun, hari ini kan sudah masuk sekolah lagi. Ayo lekas bangun dan mandi!" kata bunda sambil melepaskan selimut yang membungkus Dimas.
Dimas bergerak-gerak sebentar kemudian terlelap lagi. Bunda yang kesal kemudian mengambil air di gelas air minum yang ada di meja kecil di samping tempat tidur Dimas.Tes tes tes. Bunda meneteskan sedikit demi sedikit air di dalam gelas ke wajah Dimas. Dimas terlonjak kaget.
"Bocor! Bocor! Atapnya bocor!" teriak Dimas. Bunda terpingkal-pingkal melihat tingkah Dimas.
"Hahaha, kamu ini Dimas. Dibangunin daritadi tidak bangun, eh ditetesi air baru bangun" kata bunda sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa.
"Ahh... Bunda... Dimas kan jadi basah!" gerutu Dimas sambil mengusap air di wajahnya dengan selimut.
"Ayo cepat mandi, kalau tidak air satu gelas ini yang Bunda siram ke wajahmu ya!?" kata bunda sambil berkacak pinggang.
"Ba, baik bunda." jawab Dimas sambil turun dari tempat tidur dan berlari menuju ke kamar mandi. Bunda kemudian kembali menuju ke dapur untuk melanjutkan membuat sarapan.
Seusai mandi dan berpakaian Dimas kemudian sarapan bersama Ayah dan bunda. Dimas adalah anak tunggal, orang tuanya keduanya sama-sama bekerja. Ayah Dimas kerja di Bank sedangkan bundanya mengajar di SMP. Dimas hidup berkecukupan bahkan dibilang kaya, hampir semua keinginannya selalu dipenuhi.
"Ayah, Dimas belikan sepatu baru lagi dong!" bujuk Dimas kepada Ayah. Ayah yang susah selesai makan dan sedang membaca koran kemudian menoleh kepada Dimas.
"Sepatu kamu kan masih bagus Dim, itu juga baru dua bulan kemarin kan belinya?" tanya Ayah.
"Iya sih yah, tapi kan sekarang Dimas sudah naik ke kelas lima. Wajar kan semua serba baru?" jawab Dimas.
"Baiklah, nanti Ayah pikirkan" kata Ayah sambil melirik bunda.
"Kok masih dipikirkan sih yah, kan tinggal beli!?" bujuk Dimas lagi.
"Ya sudah, selesaikan dulu makannya nanti ojek jemputannya keburu datang." bujuk Bunda. Mau tidak mau Dimas menurut, Dimas sebenarnya adalah anak yang baik. Namun karena keinginan yang selalu dituruti dia menjadi anak yang manja.
Hari pertama di kelas lima Dimas menempati ruang kelas yang baru dan teman baru. Namun kebanyakan Dimas mengenali semuanya karena beberapa ada yang menjadi teman sekelasnya di kelas-kelas sebelumnya. Dimas duduk di bangku nomor dua bersebelahan dengan teman lamanya Rino. Semua bangku mulai terisi kecuali bangku di depan Dimas. Setelah bel berbunyi bangku itu masih kosong.
"Assalamu'alaikum anak-anak" sapa Ustad Ridwan.
"Wa'alaikumsalam" jawab anak-anak serempak.
"Selamat datang di semester pertama Kelas V Mulia. Saya Ustad Ridwan adalah wali kelas kalian selama satu tahun ke depan" jelas Ustad Ridwan yang berdiri di depan kelas.
"Baik, sekarang ustad absen dulu ya?" lanjut ustad Ridwan.
Ustad berjalan ke arah meja guru untuk mengambil absen, sebelum sampai di meja tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu dan disusul dengan sebuah salam.
"Assalamu'alaikum, maaf saya terlambat ustad" sapa seorang anak laki-laki.
Anak laki-laki berkulit sawo matang itu masuk ke dalam kelas sambil menyeret sebelah kakinya. Dimas memperhatikan langkah anak itu yang kini tengah berjalan ke arah bangku di depannya.
"Siapa anak itu, kamu mengenalnya?" bisik Dimas pada Rino.
"Aku pernah melihatnya sih, tapi aku tidak pernah sekelas dan aku juga tidak tahu namanya" jawab Rino setengah berbisik.
"Apa dia sakit ya, kakinya kok diseret gitu" tanya Dimas penasaran.
"Stt, jangan berisik ah nanti dia dengar lho!" kata Rino. Dimas kemudian memendam rasa ingin tahunya.
Dimas kemudian tahu bahwa anak lelaki yang duduk di depannya itu bernama Adit setelah ustad Ridwan mengabsen semua murid. Dimas berencana mengajak berkenalan dengan Adit setelah bel istirahat berbunyi.
***
Dimas tergesa-gesa memasukkan peralatan tulisnya yang tercecer di lantai gara-gara keusilan Roni yang dengan sengaja menumpahkan isi pensilnya ke lantai. Setelah Dimas selesai merapikan peralatan tulisnya dia tersadar bahwa Adit sudah tidak berada di kelas, Dimas kemudian berlari keluar kelas berharap bisa menyusul Adit.
"Mungkin Adit pergi ke kantin" batin Dimas. Namun ketika melewati Musholla Dimas melihat Adit tengah melepas sepatunya dan pergi ke tempat berwudhu.
"Lho, kok aneh? Kenapa sekarang Adit tidak menyeret kaki kanannya ketika berjalan?" gumam Dimas.
Dimas kemudian duduk di teras musholla, tepat di tempat Adit meletakkan sepatunya. Beberapa menit kemudian Dimat melihat Adit masuk ke dalam Musholla. Dimas yang penasaran hanya menunggu Adit keluar dari Musholla dan kemudian menanyakan keadaan kakinya.
Berselang sepuluh menit Adit selesai melakukan sholat Dhuha, namun dia tak segera keluar musholla melainkan mengambil sebuah Mushaf dan mulai membacanya. Dimas yang sedari tadi mengamati Adit hanya termangu setelah mendengar betapa merdunya suara Adit ketika mengaji. Tiba-tiba Dimas merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya.
"Aku bisa sih membaca al qur'an tapi kenapa tidak bisa seindah itu caraku membacanya?" gumam Dimas. Saking asyiknya melamun Dimas tidak sadar Adit kini berada di sampingnya dan tengah memakai kembali sepatunya.
"Dimas, aku duluan ke kelas ya?" sapa Adit.
Dimas yang asyik melamun tiba-tiba tersadar kemudian melangkah menyusul Adit yang kembali berjalan dengan menyeret kaki kanannya menuju ke kelas.
"Adit, tunggu!" teriak Dimas. Adit yang dipanggil kemudian menghentikan langkahnya.
"Ada apa Dimas?" tanya Adit.
"Ak, aku boleh ngobrol?" jawab Dimas sambil mengatur nafasnya.
"Boleh, tapi bel masuk sudah berbunyi nih" kata Adit.
"Kalau begitu sepulang sekolah ya?" tanya Dimas antusias.
"InsyaAllah" jawab Adit. Mereka berduapun akhirnya masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya.
***
"Baiklah, Ustad akhiri sampai disini pelajaran hari ini. Mari kita akhiri dengan doa" kata Ustad Ridwan.
Setelah selesai membaca doa, Ustad Ridwan mengucapkan salam kemudian keluar dari ruang kelas diikuti murid-murid yang lain. Namun Dimas masih mencatat materi yang ada di papan. Dia terlambat menulis semua materi karena Rino dari tadi mengganggu konsentrasinya menulis.
"Dimas, aku pulang duluan ya?" sapa Adit. Adit kemudian berjalan menuju ke luar kelas.
"Eh, tunggu aku...!!" balas Dimas. Namun Adit tak mendengar suara Dimas dan terus saja berjalan keluar kelas.
Dimas tak menyalahkan Adit yang tidak mendengar suaranya, di dalam kelas teman-temannya sangat berisik begitu juga teman-teman lainnya yang berhamburan di luar kelas. Dimas kemudian mempercepat tangannya menulis materi yang ada di papan.
***
"Eh, pak! Pak! Berhenti sebentar pak!" seru Dimas kepada supir ojek langganannya.
"Ada apa nak Dimas?" tanya bang Ucok.
"Sepertinya itu teman Dimas bang, saya turun disini saja ya bang?" kata Dimas sambil turun dari motor.
"Lho, nanti Bunda nyariin Dimas. Bang ucok nanti yang disalahkan orang tua nak Dimas" cegah bang Ucok panik.
"Tidak apa-apa bang! Nanti Dimas yang jelasin ke bunda." tegas Dimas sambil berlari menyusul Adit yang berjalan menuju ke bawah sebuah jembatan. Bang Ucok tidak bisa mencegah Dimas.
Dimas tak mengerti kenapa Adit tidak langsung pulang malah ke tempat yang kumuh dan bau itu. Dimas yang penasaran hanya bisa menahan rasa ingin tahunya dan hanya mengamati Adit dari jauh.
Sesampainya di gundukan sampah yang menjulang, Adit yang telah mengganti pakaian seragam dan melepas sepatunya kemudian mengambil sebuah kantung dan tongkat yang ujungnya runcing. Adit dengan lincahnya mengorek-ngorek sampah dan memunguti beberapa botol plastik. Dimas yang penasaran kemudian berjalan menuju Adit.
"Kamu sedang apa Adit?" tanya Dimas. Adit yang disapa mematung setelah tahu siapa yang kini berada di dekatnya.
***
Adzan Maghrib baru saja selesai, Dimas kemudian mengambil air wudhu dan segera melaksanakan Sholat Maghrib. Ayah dan Bunda hanya saling memandang heran, tak biasanya anak mereka langsung sholat tanpa disuruh terlebih dahulu. 
"Tumben ya Dimas yah!?" kata Bunda.
"Iya bun, tapi disyukuri saja mungkin Dimas sudah berubah menjadi lebih baik" tegur Ayah.
"Iya, Alhamdulillah. Berarti hadiah kenaikan kelas yang Bunda beli tadi tidak sia-sia kan yah? Dimas pasti senang sekali." kata bunda.
Setelah sholat Maghrib, Ayah dan Bunda pergi ke kamar Dimas sambil menenteng sebuah kotak yang telah dibungkua kertas kado.
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum Dimas. Ayah dan Bunda boleh masuk nak?" sapa Bunda.
"Wa'alaikumsalam. Iya bun, masuk saja pintu tidak di kunci." jawab Dimas.
Ayah dan Bunda kemudian masuk ke kamar Dimas dan kemudian menyerahkan bungkusan kado kepada Dimas.
"Ini hadiah dari Ayah dan Bunda untuk Dimas yang sudah naik ke kelas lima" kata Bunda sambil tersenyum.
"Apa ini bunda?" tanya Dimas.
"Buka saja nak!" jawab bunda sambil tersenyum kepada Ayah.
Dimas kemudian membuka bungkusan kado itu. Namun Dimas bukannya terlihat senang malah menunduk dan mulai menangis. Ayah dan Bunda kebingungan.
"Lho. Kamu kok malah sedih dan menangis?" tanya bunda sambil mengelus kepala Dimas.
Dimas kemudian menceritakan kejadian hari itu. Mulai dari Adit yang menyeret kaki kanannya ketika berjalan hingga ketika Adit memunguti botol plastik bekas di Penampungan Sampah.
Dimas menceritakan kenapa Adit menyeret kakinya ketika berjalan. Adit malu karena sepatunya berlubang di bagian bawah. Dan jika Adit berjalan seperti biasa dia takut teman-temannya melihat lubang itu dan mengejeknya. Adit tidak ingin meminta sepatu baru kepada orang tuanya karena Ayah Adit hanya seorang tukang becak yang penghasilannya sedikit. Sedangkan ibunya Adit hanya seorang guru ngaji yang gajinya tidak seberapa. Jadi Adit tiap pulang sekolah bekerja mengumpulkan sampah untuk menabung dan membeli sepatu baru.
Dimas mengakhiri ceritanya sambil menangis, bunda jadi tidak tega dan akhirnya menangis juga.
"Lalu apa yang kamu tangiskan? Apa karena kamu kasihan sama teman kamu itu?" tanya Ayah.
"Iya ayah. Dimas jadi berfikir selama ini Dimas Salah. Semua keinginan Dimas terpenuhi, namun disaat yang sama teman Dimas kekurangan. Sepatu Dimas masih bagus dan bisa digunakan, tapi Dimas minta dibelikan yang baru. Sedangkan Adit bekerja dulu untuk membeli sepatu baru dan tidak ingin menyusahkan orang tuanya." jelas Dimas sambil mengusap airmatanya.
Malam harinya setelah sholat Isya, Dimas dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Adit. Ternyata rumah Adit tak jauh dari tempat penampungan sampah di bawah jembatan yang sering mereka lewati. 
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum" sapa Dimas.
Tak lama kemudian terdengar jawaban dari balik pintu, beberapa detik kemudian Adit membukakan pintu. Adit terkejut melihat Dimas dan orang tuanya berkunjung ke rumahnya yang sederhana. Setelah dipersilahkan masuk, Dimas dan kedua orang tuanya duduk di sebuah kursi kayu sedangkan Adit pergi ke dalam memanggil orang tuanya.
Setelah orang tua Adit keluar bersama Adit, Ayah Dimas mengutarakan niat baik Dimas yang ingin menyerahkan hadiah kenaikan kelasnya kepada Adit. Adit kemudian menerima bungkusan itu dan membukanya. Mata Adit berkaca-kaca, tak disangkanya bahwa isi dari bungkusan itu adalah sebuah sepatu baru yang sangat bagus. Karena usia dan bentuk tubuh serta tinggi Adit dan Dimas hampir sama, kemungkinan ukuran sepatu mereka juga sama.
Adit dengan senangnya kemudian memakai sepatu itu dan Alhamdulillah sepatunya pas. Semuanya terlihat senang dan bersyukur. Namun tiba-tiba Dimas mengajukan syarat. Semua mata tertuju ke arah Adit.
"Sepatu itu akan jadi milikmu, tapi ada syaratnya!" kata Dimas.
"Syarat?" tanya Adit dengan lesu.
"Iya! Syaratnya kamu harus mengajari aku membaca Alqur'an sampai baik dan merdu seperti saat kamu mengaji di mushola tadi. Bagaimana?" tanya Dimas.
"Baiklah!" jawab Adit Mantab.
Keesokan harinya Adit berangkat ke sekolah  memakai sepatu pemberian Dimas dengan langkah yang tegas dan tidak menyeret kembali kaki kanannya. Tiap sore Dimas datang ke rumah Adit untuk belajar mengaji. Sejak saat itu Adit dan Dimas menjadi sahabat karib.

No comments: