Bohong jika senyumku tak pernah
cacat. Dusta pula jika aku tegar berdiri seperti sekarang tanpa pernah
merangkak melawan nyeri dari sebuah keterpurukan. Namun, di dalam hidup adanya
sebuah ujian adalah suatu kewajaran. Karena ujian menentukan kadar suatu hamba
di mataNya. Lagipula, Tuhan tidak akan menguji sebuah kaum melebihi batas
kemampuannya bukan?
Namun jika saja dahulu aku lebih
dahulu memaknai ujian tersebut sebagai penggugur dosa dan penempa jiwa, maka di
pertengahan tahun 2009 aku tak akan menjadi seorang yang lemah iman sehingga
tak mudah membagikan suara hatiku hingga berbuah rundungan atau bully-an.
Bermula disaat kesehatan yang tak
mampu lagi menopang raga disusul dengan kemampuan finansial yang menghempaskan
harapan melanjutkan pendidikan, dan kehilangan seseorang yang menawarkan impian
indah tentang sebuah pernikahan.
Suatu ketika di hari ketiga
ketika aku menjalani Kuliah Kerja Nyata di sebuah perusahaan di kotaku, tetiba
saja tubuh ini melemah. Sakit infeksi Sinus yang dulu terabaikan tiba-tiba
menjadi sebuah ancaman yang begitu mengganggu pergerakan fisik dan juga
konsentrasi kerja. Dan di waktu bersamaan aku harus memikirkan biaya
pendidikanku yang sebentar lagi harus tertunaikan. Namun, diantara kedua hal
tersebut satu hal yang makin membuyarkan pikiran dan hatiku adalah sebuah
permintaan yang sungguh tak sanggup aku melakukannya walau lelaki itu berjanji
akan bertanggungjawab setelah permintaannya terpenuhi.
Tak pernah terbesit sedikitpun
olehku, bunga yang selalu aku jaga harus rela terpetik lelaki yang belum
melafadzkan ijab di depan waliku. Ya, dan Allahpun mempunyai cara untuk tetap
menjaga sesuatu yang suci untuk tetap mewangi dan tiada tersentuh kotornya hawa
nafsu lelaki.
Menjejak hari kelima tubuhku tak
mampu lagi untuk bertahan. Aku tetiba limbung. Pikiran, hati dan fisikku
mengalami pecah kongsi. Aku tak merasakan lagi menjejakkan diri di dunia ini.
Beberapa bulan aku menamainya
“Depresi” (mungkin). Disela kekuatan untuk sembuh dan memulai hidup kembali aku
mencoba menghubungi seorang psikolog. Namun tiada hasil, hingga suatu saat ada
seorang teman yang memberikan sebuah solusi berupa terapi religi dengan seorang
ustad. Ya, perlahan sebuah cahaya membuatku memiliki kembali sebuah semangat.
Semangat untuk menjadi lebih baik.
Aku mencoba melepaskan semua
permasalahan yang akui punyai. Kuncinya satu, Ikhlas. Sehari dua hari memang
tak mudah untuk itu. Aku seringkali tak menerima kenapa Tuhan memberikan aku
ujian berat dalam waktu bersamaan? Kadangkala tanpa sadar aku menuangkan
ketidakpuasan akan takdirku di sosial media. Ada yang menyemangati agar aku
bisa bangkit namun tak sedikit juga yang mencemooh.
“ah, kamu bisanya hanya
menggerutu!”
“Tidak menerima takdir!”
“Ingat-ingat lagi dosa yang
pernah kamu perbuat bisa jadi itu azab atau hukuman untukmu!”
“Bertaubatlah!”
Dan masih banyak lagi
kekata-kekata yang begitu menghujam jantung. Iya, mungkin memang salah jika aku
melampiaskannya ke sosial media yang sebagian besar aku tak mengenal siapa
mereka. Satu dua kali aku bisa menelan mentah-mentah semua suara sumbang itu
dan tetap melangkahkan kaki. Tetapi disaat penyakit sinus mulai terasa sakit
tanpa sadar jemari ini mulai menuangkan kembali apa yang begitu mengganjal di
hati maupun pikiran. Terkadang apa yang aku ketik berupa semangat untuk diri
namun juga rintihan tentang beratnya ujian dan rasa sakit akibat infeksi sinus
yang terus menyiksaku.
Walau suara sumbang tak surut,
namun aku tetap kepada keyakinanku. Aku menjadikan menulis sebagai katarsis
untuk membuatku tetap terjaga dari sapuan depresi yang bisa saja membuat imanku
melemah. Ya, biarkanlah orang-orang yang tidak menggunakan hati mereka untuk
membaca sebuah status atau catatan Facebook tetap dalam jati diri mereka walau
tanpa sadara bisa saja apa yang mereka sampaikan bisa melunturkan jati diri
orang lain.
Pernah aku terbawa arus, karena
bagaimanapun juga hatiku ikut membaca setiap ketikan jemari mereka yang berisi
ucapan tak layak. Sama halnya dengan telinga, walaupun mudah mengatakan “Dengarkan
saja dari telinga kanan dan keluarkan melalui telinga kiri” tetap saja kekata
itu hingga di hati kita bukan? Saat itu aku merenungi, benarkah aku seorang
penggerutu? Benarkah aku seperti sangkaan kejam mereka kepadaku? Apakah aku
sebegitu buruk dalam gelimpangan dosa menerima azab sebegini perih?
Namun, sekali lagi. Disaat masih
ada sebutir iman di hati Allah akan senantiasa membantu dan menemani kita
melewati setiap aral yang melintang. Bagaikan sebuah tunas yang satu persatu
mulai tumbuh menghijau. Diluar sana masih banyak manusia lain yang masih
memiliki hati untuk sekedar memiliki sebuah simpati untuk sebuah hati yang
tengah recovery.
Suatu ketika ada seorang kawan
mengirimiku sebuah pesan. Dia mengatakn menyukai semua tulisan dan catatan yang
ada di Facebook. Dan dia mengarahkan untuk meneruskan apa yang telah aku
lakukan hingga bisa menjadi sebuah cerita yang indah. Saat itu aku tak
mempercayainya, hingga pesan-pesan lain berdatangan dengan nada yang serupa. Aku
mulai bersemangat.
Semangat itu perlahan membuat
fisikku menguat, dan aku berusaha untuk mulai bekerja lagi di sebuah butik yang
pernah aku jadikan ladang penambah uang saku saat liburan semester dulu. Namun,
takdir berkehendak lain. Karena di butik aku masih saja berurusan dengan debu
hingga membuat infeksi sinusku kambuh lagi. Tak jarang keluar darah dari hidung
maupun gusiku, hingga suatu saat jantungku terasa sangat sakit. Siang itu untuk
duduk saja aku tak bisa karena terasa tombak yang menghunus jantung hingga
tembus ke punggungku. Sangat sakit, ditambah lagi darah yang masih saja keluar
dari mulutku. Aku masih ingat saat aku dibawa ke dokter menggunakan sebuah
becak. Dokter angkat tangan dan memberikan rujukan ke UGD karena tensiku saat
itu sangat tinggi. Entah 150/70 atau 150/80 aku tak mampu mengingat detailnya. Sejak
saat itu aku mulai vakum kembali dari aktivitas.
Dan mulailah aku dalam mihrabku. Setelah
kejadian itu sebagian besar waktuku ada di tempat tidur dengan buku-buku dan
sebuah hape mungil untuk mengkatarsis diri lagi. Dan mulailah kisah Hawa dan penantiannya akan adam yang aku rangkai di setiap catatan facebook. Aku menikmatinya
walau kadang sesekali suara sumbang mencoba mendorongku untuk terjungkal sekali
lagi.
Lalu, akankah aku membiarkan diri
ini terjatuh kembali?
Tidak! Aku tidak mau! Cukup sekali
saja aku dengar bisikan untuk mengakhiri hidup ketika tiada dukunganpun ada
untukku. Ditambah lagi arogansi dari pembaca yang memiliki hati untuk sekerdar
bersimpati. Kini aku membuat sebuah tameng di hati. Tameng yang berbahankan
Iman dan keyakinan penuh kepadaNya.
Jika diluar sana masih ada
seseorang seperti aku yang pernah atau bahkan sampai sekarang tengah mengalami
perundungan atau bully-an. JANGANLAH MENYERAH! Ingat, kita tidak pernah
sendiri. Ada Tuhan yang setia menemani. Dan sekali lagi kamu tidak sendiri, dan
jangan pernah merasa sendiri karena diluar sana ada banyak orang baik yang tak
sabar untuk menjabat tangan dan mengajakmu bersahabat dengannya.
#SayNoToCyberbullying
#berkatabaikataudiam
#odopfor99days
No comments:
Post a Comment