Sunday 6 May 2018

Jika diamku membuat kalian tenang, aku mencoba untuk bertahan dalam diam yang emas.


Bohong jika senyumku tak pernah cacat. Dusta pula jika aku tegar berdiri seperti sekarang tanpa pernah merangkak melawan nyeri dari sebuah keterpurukan. Namun, di dalam hidup adanya sebuah ujian adalah suatu kewajaran. Karena ujian menentukan kadar suatu hamba di mataNya. Lagipula, Tuhan tidak akan menguji sebuah kaum melebihi batas kemampuannya bukan?


Namun jika saja dahulu aku lebih dahulu memaknai ujian tersebut sebagai penggugur dosa dan penempa jiwa, maka di pertengahan tahun 2009 aku tak akan menjadi seorang yang lemah iman sehingga tak mudah membagikan suara hatiku hingga berbuah rundungan atau bully-an.

Bermula disaat kesehatan yang tak mampu lagi menopang raga disusul dengan kemampuan finansial yang menghempaskan harapan melanjutkan pendidikan, dan kehilangan seseorang yang menawarkan impian indah tentang sebuah pernikahan.

Suatu ketika di hari ketiga ketika aku menjalani Kuliah Kerja Nyata di sebuah perusahaan di kotaku, tetiba saja tubuh ini melemah. Sakit infeksi Sinus yang dulu terabaikan tiba-tiba menjadi sebuah ancaman yang begitu mengganggu pergerakan fisik dan juga konsentrasi kerja. Dan di waktu bersamaan aku harus memikirkan biaya pendidikanku yang sebentar lagi harus tertunaikan. Namun, diantara kedua hal tersebut satu hal yang makin membuyarkan pikiran dan hatiku adalah sebuah permintaan yang sungguh tak sanggup aku melakukannya walau lelaki itu berjanji akan bertanggungjawab setelah permintaannya terpenuhi.

Tak pernah terbesit sedikitpun olehku, bunga yang selalu aku jaga harus rela terpetik lelaki yang belum melafadzkan ijab di depan waliku. Ya, dan Allahpun mempunyai cara untuk tetap menjaga sesuatu yang suci untuk tetap mewangi dan tiada tersentuh kotornya hawa nafsu lelaki.

Menjejak hari kelima tubuhku tak mampu lagi untuk bertahan. Aku tetiba limbung. Pikiran, hati dan fisikku mengalami pecah kongsi. Aku tak merasakan lagi menjejakkan diri di dunia ini.

Beberapa bulan aku menamainya “Depresi” (mungkin). Disela kekuatan untuk sembuh dan memulai hidup kembali aku mencoba menghubungi seorang psikolog. Namun tiada hasil, hingga suatu saat ada seorang teman yang memberikan sebuah solusi berupa terapi religi dengan seorang ustad. Ya, perlahan sebuah cahaya membuatku memiliki kembali sebuah semangat. Semangat untuk menjadi lebih baik.

Aku mencoba melepaskan semua permasalahan yang akui punyai. Kuncinya satu, Ikhlas. Sehari dua hari memang tak mudah untuk itu. Aku seringkali tak menerima kenapa Tuhan memberikan aku ujian berat dalam waktu bersamaan? Kadangkala tanpa sadar aku menuangkan ketidakpuasan akan takdirku di sosial media. Ada yang menyemangati agar aku bisa bangkit namun tak sedikit juga yang mencemooh.

“ah, kamu bisanya hanya menggerutu!”
“Tidak menerima takdir!”
“Ingat-ingat lagi dosa yang pernah kamu perbuat bisa jadi itu azab atau hukuman untukmu!”
“Bertaubatlah!”

Dan masih banyak lagi kekata-kekata yang begitu menghujam jantung. Iya, mungkin memang salah jika aku melampiaskannya ke sosial media yang sebagian besar aku tak mengenal siapa mereka. Satu dua kali aku bisa menelan mentah-mentah semua suara sumbang itu dan tetap melangkahkan kaki. Tetapi disaat penyakit sinus mulai terasa sakit tanpa sadar jemari ini mulai menuangkan kembali apa yang begitu mengganjal di hati maupun pikiran. Terkadang apa yang aku ketik berupa semangat untuk diri namun juga rintihan tentang beratnya ujian dan rasa sakit akibat infeksi sinus yang terus menyiksaku.

Walau suara sumbang tak surut, namun aku tetap kepada keyakinanku. Aku menjadikan menulis sebagai katarsis untuk membuatku tetap terjaga dari sapuan depresi yang bisa saja membuat imanku melemah. Ya, biarkanlah orang-orang yang tidak menggunakan hati mereka untuk membaca sebuah status atau catatan Facebook tetap dalam jati diri mereka walau tanpa sadara bisa saja apa yang mereka sampaikan bisa melunturkan jati diri orang lain.

Pernah aku terbawa arus, karena bagaimanapun juga hatiku ikut membaca setiap ketikan jemari mereka yang berisi ucapan tak layak. Sama halnya dengan telinga, walaupun mudah mengatakan “Dengarkan saja dari telinga kanan dan keluarkan melalui telinga kiri” tetap saja kekata itu hingga di hati kita bukan? Saat itu aku merenungi, benarkah aku seorang penggerutu? Benarkah aku seperti sangkaan kejam mereka kepadaku? Apakah aku sebegitu buruk dalam gelimpangan dosa menerima azab sebegini perih?

Namun, sekali lagi. Disaat masih ada sebutir iman di hati Allah akan senantiasa membantu dan menemani kita melewati setiap aral yang melintang. Bagaikan sebuah tunas yang satu persatu mulai tumbuh menghijau. Diluar sana masih banyak manusia lain yang masih memiliki hati untuk sekedar memiliki sebuah simpati untuk sebuah hati yang tengah recovery.

Suatu ketika ada seorang kawan mengirimiku sebuah pesan. Dia mengatakn menyukai semua tulisan dan catatan yang ada di Facebook. Dan dia mengarahkan untuk meneruskan apa yang telah aku lakukan hingga bisa menjadi sebuah cerita yang indah. Saat itu aku tak mempercayainya, hingga pesan-pesan lain berdatangan dengan nada yang serupa. Aku mulai bersemangat.

Semangat itu perlahan membuat fisikku menguat, dan aku berusaha untuk mulai bekerja lagi di sebuah butik yang pernah aku jadikan ladang penambah uang saku saat liburan semester dulu. Namun, takdir berkehendak lain. Karena di butik aku masih saja berurusan dengan debu hingga membuat infeksi sinusku kambuh lagi. Tak jarang keluar darah dari hidung maupun gusiku, hingga suatu saat jantungku terasa sangat sakit. Siang itu untuk duduk saja aku tak bisa karena terasa tombak yang menghunus jantung hingga tembus ke punggungku. Sangat sakit, ditambah lagi darah yang masih saja keluar dari mulutku. Aku masih ingat saat aku dibawa ke dokter menggunakan sebuah becak. Dokter angkat tangan dan memberikan rujukan ke UGD karena tensiku saat itu sangat tinggi. Entah 150/70 atau 150/80 aku tak mampu mengingat detailnya. Sejak saat itu aku mulai vakum kembali dari aktivitas.

Dan mulailah aku dalam mihrabku. Setelah kejadian itu sebagian besar waktuku ada di tempat tidur dengan buku-buku dan sebuah hape mungil untuk mengkatarsis diri lagi. Dan mulailah kisah Hawa dan penantiannya akan adam yang aku rangkai di setiap catatan facebook. Aku menikmatinya walau kadang sesekali suara sumbang mencoba mendorongku untuk terjungkal sekali lagi.

Lalu, akankah aku membiarkan diri ini terjatuh kembali?

Tidak! Aku tidak mau! Cukup sekali saja aku dengar bisikan untuk mengakhiri hidup ketika tiada dukunganpun ada untukku. Ditambah lagi arogansi dari pembaca yang memiliki hati untuk sekerdar bersimpati. Kini aku membuat sebuah tameng di hati. Tameng yang berbahankan Iman dan keyakinan penuh kepadaNya.

Jika diluar sana masih ada seseorang seperti aku yang pernah atau bahkan sampai sekarang tengah mengalami perundungan atau bully-an. JANGANLAH MENYERAH! Ingat, kita tidak pernah sendiri. Ada Tuhan yang setia menemani. Dan sekali lagi kamu tidak sendiri, dan jangan pernah merasa sendiri karena diluar sana ada banyak orang baik yang tak sabar untuk menjabat tangan dan mengajakmu bersahabat dengannya.

#SayNoToCyberbullying
#berkatabaikataudiam
#odopfor99days

No comments: