Monday 13 June 2016

Sabar di Pelukan Ramadan

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa"

[Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]

Ramadan, 1437 H.
Bulan yang ditunggu akhirnya menghampiri dengan kerlingan hangat dan senyum yang semampai. Kubulatkan tekad, Ingin kubersamai dia dengan ibadah-ibadah yang terus berkobar. Mengharap Lailatul QadarNya hingga bisa kugenggam dan api Hidayah kekal membaluri hati yang hidup namun seakan mati ini.

Ramadanku, ramadan kita dan ramadan seluruh muslim.

Hari pertama aku melaluinya dengan gempita, Tilawah yang terus bergulir dari halaman ke halaman selanjutnya. Sunnahpun tak ketinggalan. Aku berharap terus seperti ini sampai Fitri nanti. Bolehkan berharap?

Geliat ujian mulai merangsek memasuki hari kedua Ramadan. Apakah itu? Aku hanya bisa menekan letupan emosi yang memanas di dalam dada. Sungguh, Mushaf Aisyah di dekapan meredakan letupan yang seketika padam saat kulantukan ayat demi ayat. Kubiarkan mereka beraksi di depan rumah.

Tepat di depan pintu pagar kami, seorang tetangga yang seolah menjadi 'perusuh' bagi ketentraman keluarga kami mulai merangkai permasalahan lagi. Dengan tanpa meminta ijin sebelumnya mereka berjualandan menutup sebagian jalan yang akan masuk ke dalam rumah kami. Belum lagi sepeda motor yang terparkir seenaknya hingga menggangu jalan keluar masuk kendaraan lain yang hendak menuju ke konter ataupun rumah. Belum lagi cara merek berkata yang terbahak dan terkesah ramai sendiri.

Seisi rumah mulai berkomentar tentang pemandangan baru di depan rumah kami. Haruskah aku ikut jua melontarkan geronjalan batu di hati ini? bukankah percikan api akan semakin membara jika aku berperan sebagai minyak yang membesarkan percikan itu. Berbeda jika kemudian aku mengambil peran yang lain. Air.

Menurutku pribadi, tak mengapa mereka berjualan di depan rumah asalkan tak mengotori dan tak sembarangan memarkirkan motor sehingga lahan rejeki kami tak disabotase parkir liar itu. Atau setidaknya menghomati kami dengan meminta ijin terlebih dahulu. di hari kedua, bukan hanya keriuhan dari obrolan mereka namun dengan suara musik ajebajeb dan dangdutan yang terdengar sangat jauh dari wajah dan suasana Ramadhan. Ramadhanku dilecehkan dengan lirik-lirik nakal itu.

Sore itu aku membalas lemparan senyum dari si penjual yang tak lain adalah tetangga yang dikenal sebagai 'trouble family', walau dalam hati ada keengganan jika ketenanganku beribadah terganggu dengan keriuhan mereka. Ibu sendiri berkali-kali memberi kami nasihat agar tak perlu menyulut api dengan menegur mereka. Nanti pasti mereka memakai tameng 'ini jalan negara kok!' dan benar saja keesokan harinya kudengar sendiri kata itu menguar dari mulut mereka.

Sore itu selepas maghrib, tepatnya setelah aku selesai mengambil air wudhu. Ibu menghampiriku,

"kalaupun mereka memasang musik lagi, biarkan saja. Mbakmu tadi sudah menegur mereka dan dengarlah. Mereka mulai membicarakan kita dengan amarahnya".

Dan benar saja, belum selesai aku menjalankan ibadah Maghrib, kini mulai kembali terdengar lirik-lirik nakal serta dentuman suara musik itu. Hatiku terluka! Bukan aku terluka karena hal apa, Aku terluka ada orang yang tak menghargai waktuNya. Maghrib.

Kutekan rasa, kucoba lapangkan hati. Aku tak bertanya kembali kepada ibu tentang bagaimana cara kakakku menegur mereka. Sedikit aku bisa mereka, karena aku sangat kenal perangai kakakku. Namun aku tetap berulang kali menangkis bisikan negatif itu. Khusnudzan.

Setelah shalat maghrib, aku membuka lahan rejeki kami. Dan kembali aku tenggelam dalam ayat-ayat cintaNya. Aku kembali bertilawah dengan damai hingga akhirnya...

Hatiku terluka, sungguh...

Jarak diantara kami hanya sekitar 3 meter, tentu mereka bisa mendengar lantunan kalamNya yang aku perdengarkan. Lalu, kenapa mereka masih dan makin memperkeras suara musik itu? Akupun menangis...


Aku tak pernah mencoba menyakiti orang lain ataupun membenci seseorang karena aku lebih menyukai kedamaian dan lemparan senyum yang mendamaikan. Bukankah seharusnya seperti itu hidup bersosial?

Aku tutup mushafku, dan begitupun rolling door. Aku ingin bertilawah dengan tenang dan tak diracuni lirik-lirik lagu tak bermoral itu. Astaghfirullah...
Hingga adzan Isya pun berkumandang.

Aku langsung melangkahkan kakiku menuju ke Mushollah dengan menyambar Mushafku.

Sepulang dari shalat terawih saat menjejakkan langkah ke rumah, aku masih mendengar lirik-lirik nakal itu. MasyaAllah, mereka masih saja tak menghargai. Bukannya mematikan musik dan beranjak shlat Terawih berjamaah mereka malah dugem sambil bernyanyi-nyanyi. Dan suasa itupun berlanjut hingga malam hari, suara dugem itu bersahutan dengan suara Tilawah dari Mushollah. Sungguh hatiku terluka dalam, dan kini ia berdarah. Aku merindukan kembali suara-suara tilawah dari Musholla yang tak sembarang hari diperdengarkan hingga malam hari itu.

Tak banyak yang bisa aku perbuat untuk menghentikan perbuatan mereka. Selain sesekali meminta tolong kepada orang yang datang membeli pulsa di tempatku untuk menasehati orang-orag di depan itu. Namun apa yang aku harapkan sirna.

"Percuma saja mbak, keluarga itu g bakal bisa dinasehatin! keluargaku saja pernah mereka 'keroyok'! Wegah ngandani mbak! percuma!" kata salah seorang tetanggaku.

Sore itu jantungku berkontraksi kuat saat kakakku lagi-lagi menegur mereka. Saat kakakku hendak berangkat kerja, motornya terhalang oleh sepeda motor yang terparkir di depan rumah. Dan pecahlah perang itu!

"Jangan seenaknya parkir di depan rumah dong!" kata kakakku dengan membleyer sepedanya.

"Iki dalane negoro!" bantah mereka.

"Dasar rondo ga ayu!"

"Kurus koyok totok kerot!"

"Pantas dicerai! bla bla bla"

entah hinaan apalagi yang mereka tuduhkan kepada kakakku, hingga akhirnya ibuku keluar dengan terburai airmata. Dengan menahan emosinya Ibu mencoba mengingatkan gerombolan orang itu. Namun percuma saja, karena luka dihati ibu tekah terbanjiri dengan darah.

Dan malam itu rumah kami berduka, terluka. Kian dalam.

Menjejak minggu kedua, jajanan mereka gulung Tikar. Aku tak banyak komentar tentang hal itu, namun ada kabar mengatakan jajanan mereka tak habis dan tak banyak yang laku. Meskipun begitu, kegaduhan yang mereka buat masih saja membara. Ya, menjelang akhir ramadhan mereka masih asyik dan riang melantunkan musik dugem itu tak mengacuhkan speaker masjid yang mendengungkan merdunya Kalam Allah.

Buka  kali pertama saja keluarga mereka membuat permasalahan dengan keluarga kami dan beberapa tetangga. Dahulu pernah salah seorang anggota keluarganya seenaknya membuang sampah di depan rumah kami atau memasukkan sampah mereka ke bak sampah kami, dan kami lebih memilih mengalah. Pernah juga anggota keluarga lainnya melakukan gal yang sama kepada tetangga kami dengan memasukkan sampah ke selokan tetangga. Apa susahnya sih membuang sampah di tempat yang benar?

Dan kejadian terparah sebelumnya adalah ketika salah seorang anaknya diduga menjadi aksi pencurian yang beberapa hari berpindah dari rumah0rumah di kampung kami. Termasuk pencurian di konter kami. Dan semua itu adalah sebuah kebenaran saat ada seorang tetangga yang memastikannya saat Hpnya hilang, dan bahkan tetangga sebelah rumahnya sendiri yang masih terbilang tetangga menjadi korbannya. Dan hal itu tersampaikan adari sebuah toko yang menerima barang hasil curian mereka.

Aku tak ingin menyebarkan sebuah aib, namun aku ingin membuka mata bagi mereka yang ingin menebarkan angin hidayah bagi mereka. Bagaimana agar mereka bisa menhadi baik, karena hampir sebagian tetangga yang ingin menegurnya malah menjadi korban pengeroyokan keluarga besar mereka dengan bersenjatakan lidah mereka.

Aku hanya bisa membalas sikap mereka dengan senyuman, dan sangat berharap mereka mampu mengambil arti dari senyum ini. Dan semoga Allah menyegerakan pembukaan hati mereka untuk sebuah hidayah. Aamiin.

Dan semoga Ramadhan ini menjadikan mereka sedikit membuka hati untuk sebuah hikmah.
Aamiin.

No comments: